CTEV / Kaki Pengkor Pada Bayi Bisa Disembuhkan |
Jumat lalu 20 Februari 2015, RSOP bercerita tentang doa-doa yang terjawab. Adalah Ny. Melati, seorang ibu berusia 28 tahun yang baru saja melahirkan anak pertamanya, bercerita tentang nasib anaknya yang lahir dengan kedua kaki yang membengkok ke dalam. Kelainan itu begitu nyata terlihat dan membuat miris kedua orangtua dan keluarga dekatnya. “Seperti mimpi buruk. Saya pikir dosa apa saya, hingga anak saya terlahir seperti ini” ujar ibu tersebut. Hingga nasib membawanya ke RSOP, anaknya yang berusia kurang dari 1 tahun tersebut didiagnosis CTEV dan menjalani terapi berupa serial gips selama 3 kali. “Alhamdulillah, sekarang kaki anak saya berangsur baik” demikian ibu tersebut berkata lirih; suasana haru merayapi nada bicaranya yang terisak. Dan cerita itu disusul pula dengan cerita 3 keluarga lainnya yang mengalami nasib serupa. Sekitar 40 peserta yang memadati Joglo Taman Nirwana RSOP, larut dalam suasana mengharu biru atas share audiens yang menginspirasi terkait merah hitam perjalanan hidup orangtua dan anak yang menderita CTEV.
CTEV adalah singkatan dari Congenital Talipes Equino Varus. Masyarakat awam mengenalnya dengan istilah Club Foot atau Kaki Pengkor, yang merupakan salah satu kelainan bawaan berupa abnormalitas posisi kaki yang miring dan memelintir, sehingga penderita mengalami kecacatan dalam fungsi geraknya. Kelainan ini adalah kelainan kongenital (bawaan) yang menimpa 1 dari 1000 kelahiran hidup. CTEV dapat menimpa pada laki-laki maupun perempuan (laki-laki : perempuan adalah 2:1), dan bisa mengenai salah satu sisi ataupun kedua kaki.
Menyambut Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli mendatang, RSOP menggelar rangkaian acara edukasi Tata Laksana CTEV untuk tenaga kesehatan dan masyarakat awam sejak Februari hingga Juli mendatang. Hari Jumat 20 Februari 2015 lalu, bertempat di Joglo Taman Nirwana RSOP, sekitar 28 peserta bidan praktek di daerah Banyumas menghadiri Focus Group Discussion CTEV sekaligus mengawali rangkaian kegiatan selama 6 bulan mendatang untuk meningkatkan kompetensi tata laksana CTEV bagi tenaga kesehatan, khususnya para bidan. Acara berlangsung santai, namun penuh dengan keaktifan peserta yang berdiskusi tentang tata laksana CTEV mulai dari deteksi dini hingga terapi. Pembahasan protokol penanganan CTEV dibahas secara menarik oleh 2 pembicara yang keduanya berpraktek di RSOP, yaitu dr. Adi Surya Rinartha SpOT yang membahas tentang Diagnosis dan Terapi CTEV serta dr. Iman Solichin, SpOT, Spine yang membahas tentang pengalaman RSOP dalam menangani kasus STEV selama 5 tahun terakhir ini.
Penjelasan CTEV / Kaki Pengkor |
Tercatat 159 pasien CTEV telah ditangani RSOP sejak tahun 2009 hingga 2014, dengan prosentase laki-laki lebih banyak daripada perempuan (sekitar 65% laki-laki). Data menyebutkan bahwa outcome klinis pasien pasca terapi mengalami perbaikan signifikan, mulai dari perbaikan struktur anatomi kaki hingga kemampuan berjalannya.
Sekitar 43% pasien datang dengan usia di bawah 1 bulan, 42% di usia 1 bulan sd 1 tahun dan sisanya datang di atas usia 1 tahun. “Padahal, semakin cepat penanganan pasien CTEV, maka prognosis (kemungkinan sembuh) akan semakin besar pula” papar dr. Iman Solichin SpOT, Spine dalam penjelasan pengalaman klinisnya selama ini menangani ratusan pasien CTEV. Atas kepentingan deteksi dini tersebut, RSOP berencana akan meningkatkan kompetensi bidan praktek dalam tata laksana CTEV agar pasien dapat dideteksi dan diterapi sedini mungkin untuk tingkat kesembuhan yang baik.
Stigma negatif seputar CTEV perlu dijawab dengan edukasi masyarakat yang komprehensif agar pemahaman mengenai CTEV tidak salah. Selama ini ada yang beranggapan bahwa CTEV adalah kelainan bawaan yang menetap dan tidak dapat sembuh. Padahal, dengan penanganan yang tepat, angka kesembuhan CTEV sangat baik.
Istilah “talipes” secara literatur berarti pergelangan kaki, merujuk kepada tulang talus, yaitu salah satu segmen tulang di kaki (pedis) yang mengalami kelainan. Sedangkan istilah “equinovarus” merujuk kepada posisi kaki yang kemungkinan berupa 4 posisi yaitu Talipes Varus (kaki berotasi ke dalam), Talipes Valgus (kaki berotasi ke luar), Talipes Equinus (kaki seperti menjinjit ke depan) dan Talipes Calcaneus (kaki seperti menumpu pada tumit).
Ada 2 variasi atas kelainan ini, yaitu :
1. Kelainan posisional yang disebabkan oleh posisi kaki.
2. Malformasi struktural yang disebabkan oleh kelainan pada struktur tulang, sendi, otot dan pembuluh darah.
3. Iman Solichin SpOT yang juga penanggung jawab pelayanan Klinik CTEV di RSOP menjelaskan “Penyakit ini dapat dideteksi sejak kelahiran, dan pada prinsipnya semakin cepat dideteksi dan dilakukan penanganan, maka prognosis (kemungkinan sembuh) atas kelainan ini semakin baik. Hal inilah yang perlu diketahui oleh masyarakat agar penanganan atas kelainan ini dapat tepat sasaran” ujar beliau dalam edukasi singkat dan menarik seputar tata laksana CTEV di event tersebut.
Beliau menerangkan pula bahwa tata laksana terapi CTEV dilakukan secara bertahap, yaitu :
1. Tahap pemakaian gips (cast). Dokter akan memposisikan kaki yang cacat, pada posisi yang sesimetris mungkin. Pemakaian gips ini selama 1-2 minggu dan dilakukan serial selama 2-3 bulan sejak awal terapi.
2. Tahap kedua adalah pemakaian sepatu khusus CTEV. Sepatu mungkin diperlukan dan dianjurkan bagi penderita yang hasil terapi pemakaian gipsnya masih belum memenuhi sasaran kesembuhan yang diinginkan.
3. Tahap selanjutnya adalah tahap operasi, yaitu jika pemasangan gips dan sepatu masih kurang mencapai hasil terapi yang optimal. Melalui prosedur pemanjangan tendon achilles (tendon pergelangan kaki) yang disebut metode Ponsetti, dokter orthopaedi akan melakukan tata laksana operasi dan perawatan selama 1 hari. Tahap operasi hanya dapat dilakukan pada pasien dengan usia mencapai 4-8 bulan atau lebih.
Selain itu, bagi pasien yang datang terlambat dalam kondisi neglected (biasanya lebih dari 1 tahun), operasi kemungkinan lebih kompleks lagi berupa prosedur Posteromedial Release Tendon atau biasa disingkat PMR procedures.
Rumah Sakit Orthopaedi Purwokerto |
Di RSOP, 36% pasien ditangani dengan serial gips dan hasilnya sangat memuaskan. Prosedur Achilles Tendon Lengthening yang biasanya merupakan kelanjutan terapi setelah serial gips belum mencapai hasil yang baik, dilakukan oleh 46% pasien di RSOP. Hanya sekitar 18% pasien yang harus menjalani operasi PMR. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pasien CTEV yang ditangani RSOP, dapat ditangani dengan prosedur yang sederhana dan sangat efisien, sehingga tidak memberatkan keluarga dari segi biaya pengobatan. Apalagi saat ini, keberadaan BPJS Kesehatan sebagai penyedia jaminan kesehatan telah terbukti sangat membantu pasien-pasien CTEV dalam diagnosis dan terapinya. Dalam event tersebut juga terungkap, bahwa tata laksana CTEV di RSOP dapat sepenuhnya discover oleh BPJS. Hal ini merupakan angin segar bagi masyarakat dan RS sebagai pihak yang sangat berterima kasih atas cakupan pelayanan BPJS yang memuaskan.
Event serupa akan terus diselenggarakan RSOP untuk meningkatkan kerjasama dalam penanganan kasus CTEV secara komprehensif. Mudah-mudahan, kisah tentang doa-doa yang terjawab seperti yang terungkap dalam event tersebut, dapat terus mengalir dan menjawab kegundahan orangtua dan anak-anak Indonesia.
Sumber :
http://rsop.co.id/
0 komentar:
Post a Comment